Alhamdulillahirabbil’alamin. Ku ucapkan berjuta rasa terima kasih dan syukurku kepada sang khalik, pencipta setiap makhluk disemesta alam raya ini, yaitu Allah swt. Dengan keagungan Sembilan puluh Sembilan nama-Nya, menjadikan-Nya sang penguasa alam sejati nan hakiki. Tiada yang mustahil bagi-Nya untuk dilakukan karena diri-Nyalah sang penggenggam takdir. Oleh sebab itulah, tiada alasan bagi diri ini untuk meminta pertolongan kepada selain Allah swt. Termasuk dalam pembuatan tulisan ini yang bertajuk “Murabahah Anuitas Perspektif Baru Lembaga Keuangan Syariah”.
Tak lupa ku ucapkan kembali rasa terima kasihku kepada sang kekasih Allah, pemimpin tertinggi umat muslim, penutup para nabi serta penerima mukjizat teragung, Al Quran, yaitu baginda Rasulullah saw. Sepak terjang Rasulullah saw yang begitu dahsyat, melalui bimbingan Allah swt, mampu menghapus jejak kedzaliman dan kejahiliyahan dimuka bumi ini dan menggantinya dengan hangatnya cahaya Allah swt.
Begitu pula dengan seluruh keluarga, guru dan sahabat-sahabatku yang begitu setia memberikan dukungan dalam bentuk doa maupun kata. Tak peduli seberapa besar atau kecilnya dukungan yang kalian berikan, bagiku akan tetap terasa besar dan bermakna.
Tak banyak yang ku harapkan melalui tulisan ini. Tapi satu harapan pasti yang kuinginkan adalah tulisan ini akan memberikan manfaat yang begitu besar kepada setiap pembaca tulisan ini. Meskipun manfaat itu tak dapat dirasakan seketika itu pula, diri ini meyakini bahwa beberapa masa setelah tulisan ini dibaca, manfaat itu akan dirasakan dengan baik dan akan terus bertahan hingga hari akhir yang dijanjikan.
Bogor, 31 Desember 2013
Penulis
Abstrak
Penetapan yang dilakukan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSN MUI) dalam perkara diizinkannya penggunaan metode anuitas
untuk mengakui keuntungan yang diperoleh pada salah satu instrument
yang paling banyak digunakan oleh nasabah, yakni murabahah baru-baru ini
telah mengundang banyak polemik diantara masyarakat Indonesia dan umat
muslim khususnya.Ketika diketahui bahwa metode anuitas tidak berbeda halnya dengan bunga yang dapat disama artikan dengan riba, hal ini menjadi sebuah tanda tanya yang besar bagi Lembaga Keuangan Syariah dan DSN MUI khususnya.
Keyword: Metode Anuitas, Riba, Lembaga Keuangan Syariah
BAB I
Pendahuluan
Transaksi demi mendapatkan barang atau jasa yang dinginkan sudah lazim dilakukan oleh manusia sejak berabad-abad yang lalu. Termasuk pada zaman Rasulullah saw dan para sahabat. Sebuah transaksi dapat terjadi ketika seseorang membutuhkan suatu barang atau jasa yang tidak ia miliki namun dimiliki oleh orang lain.
Waktu terus bergulir mengikuti perputaran roda kehidupan dan zaman pun silih berganti seiring perputaran tersebut. Akhirnya, sebuah evolusi terhadap model transaksi akibat perubahan zaman pun tak dapat dihindari. Transaksi antara nasabah (pembeli) dan bank (penjual) merupakan salah satunya.
Di Indonesia, model transaksi yang terjadi antara nasabah dengan bank, pada umumnya terbagi menjadi dua sesuai jenis bank itu sendiri, yaitu konvensional dan syariah. Akibatnya, standar pencatatan yang digunakan untuk mencatat setiap transaksi yang terjadi juga terbagi-bagi mengikuti model transaksinya.
Dan dewasa ini, dengan menjamurnya lembaga keuangan syariah, perkembangan popularitas transaksi yang dilakukan oleh nasabah dan bank melalui instrument syariah menunjukan pertumbuhan yang begitu pesat. Hal ini dikarenakan transaksi yang dilakukan melalui instrument syariah dinilai lebih menjanjikan dan menguntungkan. Sehingga, diperlukan sebuah metode pencatatan laporan keuangan yang dapat menggambarkan substansi dari transaksi tersebut. Dalam hal ini, salah satu instrument transaksi syariah yang paling populer adalah Murabahah.
Murabahah adalah suatu instrument transaksi jual beli antara nasabah dengan bank. Yang mana bank berperan sebagai penjual dan nasabah sebagai pembelinya. Ketika seorang nasabah ingin membeli suatu entitas. Nasabah tersebut dapat meminta kepada pihak bank untuk membelikan entitas tersebut. Dan pihak bank harus membeli entitas tersebut sesuai dengan karakteristik yang diminta oleh nasabah. Kemudian, setelah pembelian entitas tersebut. Pihak bank dapat menentukan jumlah uang yang harus dibayarkan kembali oleh pihak nasabah, yaitu harga pokok entitas tersebut ditambah dengan keuntungan yang akan diambil oleh pihak bank sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Dalam hal ini, pihak bank harus menyebutkan harga pokok entitas tersebut kepada nasabah beserta keuntungan yang akan diambil.
Belum lama ini, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) mengeluarkan Fatwa tentang Metode Pengakuan Keuntungan pada sistem murabahah di Lembaga Keuangan Syariah. Fatwa tersebut menerangkan tentang metode anuitas yang diizinkan oleh DSN MUI untuk digunakan oleh Lembaga Keuangan Syariah dalam mengakui keuntungan yang didapat melalui transaksi murabahah.
1.2 Rumusan Penulisan
Berdasarkan latar belakang tersebut. Rumusan masalah dalam tulisan ini dapat dibentuk dalam beberapa pertanyaan seperti:
- Bagaimana penerapan metode anuitas yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah dalam transaksi murabahah ?
- Bagaimana pandangan Islam terhadap diterapkannya metode anuitas dalam sistem murabahah ?
1.3 Tujuan Penulisan
Kemudian melalui rumusan masalah yang telah dibentuk sebagaimana yang disebutkan diatas, maka tujuan dari penulisan ini akan tergambarkan sebagaimana berikut ini:
- Memahami bagaimana metode anuitas itu bekerja ketika diterapkan dalam pengakuan keuntungan pada sistem murabahah
- Memahami pandangan Islam terkait diterapkannya metode anuitas dalam sistem murabahah
BAB II
Pembahasan
Tentu saja, sebuah harapan bukan hanya milik golongan manusia tertentu saja. Akan tetapi setiap golongan manusia bebas berkehendak untuk berharap. Kesejahteraan, kemakmuran serta kebahagiaan merupakan contoh kecil dari berbagai jenis harapan yang ingin dicapai oleh setiap manusia.
Dan hal inilah yang dirasakan dunia saat ini. Dunia yang tersadarkan oleh hebatnya krisis keuangan yang melanda pada tahun 1998 dan 2007 mengakui bahwa dunia benar-benar membutuhkan suatu hal yang mampu mereka jadikan sebagai sebuah tumpuan harapan dalam menghadapi krisis keuangan tersebut. Salah satu Lembaga Keuangan Syariah, yakni perbankan syariah pun bergerak maju ke depan untuk menjawab setiap harapan dunia tersebut.
Perbankan syariah yang menjunjung tinggi panji-panji Islam dalam sistemnya, telah benar-benar membuktikan bahwa dirinya pantas untuk menjadi tumpuan harapan bagi dunia. Penerapan sebuah sistem yang ramah terhadap setiap elemen, menjadikan perbankan syariah sebagai idola dunia dalam waktu singkat.
Antusiasme dunia terhadap sistem yang diterapkan oleh perbankan syariah, benar-benar terbukti dengan banyaknya Lembaga Keuangan Syariah baru yang terlahir diberbagai belahan dunia. Bahkan, tak sedikit dari sekian banyak Lembaga Keuangan Konvensional didunia yang melakukan spin off terhadap sistemnya, termasuk di Indonesia.
Menurut data Statistik Perbankan Syariah per Februari 2012 yang dirilis oleh Direktorat Perbankan Syariah BI, penggunaan akad murabahah dalam perbankan syariah adalah yang paling mendominasi. Tercatat sebesar 58,326 triliun rupiah atau 56,24 % dari total 103,713 triliun rupiah pembiayaan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah menggunakan akad murabahah. Bahkan pembiayaan murabahah cenderung terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Belum lama ini, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) mengeluarkan Fatwa tentang Metode Pengakuan Keuntungan pada sistem murabahah di Lembaga Keuangan Syariah. Fatwa tersebut menerangkan tentang metode anuitas yang diizinkan oleh DSN MUI untuk digunakan oleh Lembaga Keuangan Syariah dalam mengakui keuntungan yang didapat melalui transaksi murabahah.
Penerapan metode anuitas dalam mengakui keuntungan yang didapat melalui sistem murabahah telah memunculkan berbagai polemik dimasyarakat Indonesia. Karena anuitas memiliki karakter yang serupa dengan bunga yang diterapkan oleh perbankan konvensional. Dan hal mendasar yang membedakan antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional adalah bunga itu sendiri.
Ketika Lembaga Keuangan Syariah menerapkan metode ini, tentu akan timbul sebuah pertanyaan besar dari masyarakat Indonesia terhadap Lembaga Keuangan Syariah. Bagaimana mungkin Lembaga Keuangan Syariah mengadopsi metode anuitas dalam pengakuan keuntungannya pada sistem murabahah. Karena dengan digunakannya metode anuitas, itu artinya akad murabahah yang awalnya berorientasi pada akad jual beli telah berubah menjadi akad pembiayaan atau pinjam meminjam uang.
Dalam prakteknya, perbankan syariah pada saat melakukan akad murabahah adalah memberikan sejumlah uang kepada nasabah seharga entitas yang ingin dibelinya dan nasabahlah yang membeli entitas tersebut langsung kepada pihak ketiga atau penjual. Seharusnya hal ini tidak boleh dilakukan oleh perbankan syariah. Karena akan menghapus karakter dari akad murabahah ini. Yakni, entitas tersebut harus merupakan milik dari pihak bank. Dengan kata lain, pihak perbankan syariah seharusnya yang membeli entitas tersebut kepada si penjual dan ketika entitas tersebut sudah dibeli dan menjadi milik bank secara sah, pihak perbankan syariah boleh menjual entitas tersebut kepada nasabah seharga harga pokok entitas tersebut ditambah keuntungan yang ambil sesuai kesepakatan. Sehingga kaidah Islam dalam akad murabahah yang mencangkup: 1. Adanya barang dagangan, 2. Barang merupakan milik sah si penjual, 3. Pihak penjual harus menerangkan harga pokok barang tersebut ditambah keuntungan yang akan diambil, 4. Ijab Kabul atau kesepakatan antara kedua belah pihak, dapat tercapai.
Pengakuan laba dalam akad murabahah yang dihitung dengan menggunakan metode effective interest rate (anuitas) secara akuntansi didasarkan pada fakta bahwa “income is earned throughout the period of loan from the balance of loan principal”. Artinya keuntungan murabahah setiap tahun diperoleh atau dialokasikan berdasarkan perkalian antara saldo terutang dari pokok pinjaman diluar laba dikalikan dengan tingkat bunga efektif yang secara implisit dikenakan atas pokok pinjaman itu. Ini memang sesuai untuk pinjam meminjam uang, tapi tidak sesuai untuk jual beli barang, dimana menurut syariah laba dan pokok pinjaman menyatu sebagai piutang murabahah tangguhan yang tidak terpisahkan.
Mengaitkan alokasi atau pengakuan laba dengan pokok pinjaman dengan menggunakan tingkat bunga efektif akan mengubah substansi transaksi dari murabahah menjadi pinjaman dengan bunga. Dan ini secara substansi adalah riba. Dan riba ini tidak akan lantas menjadi halal dengan mungubah istilah ‘tingkat bunga efektif’ menjadi ‘tingkat imbal hasil efektif’.
B. Bagaimana pandangan Islam terhadap diterapkannya metode anuitas dalam sistem murabahah
Salah satu tujuan yang menjadi dasar diturunkannya agama Islam dimuka bumi oleh Allah swt adalah demi terciptanya sebuah kemaslahatan dikalangan umat manusia. Dan hal ini termaktub dalam maqoshid syariah.
Kemaslahatan yang dimaksud adalah terciptanya suatu kesejahteraan, kebahagiaan dan kemakmuran disetiap diri pribadi manusia tanpa memperdulikan golongan atau ras manapun.
Seiring berkembangnya zaman, bertumbuh pula berbagai jenis baru perilaku muamalah antar sesama manusia. Oleh karenanya diperlukanlah sebuah ketentuan hukum yang dapat mengcover itu semua. Dan langkah yang dapat dilakukan oleh umat muslim saat ini, ketika telah wafatnya Rasulullah saw, adalah Ijtihad’ yang dalam hal ini dilakukan oleh anggota DSN MUI.
Pada kasus ini, penggunaan metode anuitas pada sistem murabahah yang telah merubah sifat asli dari murabahah itu sendiri, sudah menjadi sebuah bukti nyata tentang ketidak beresan yang terjadi didalam diri Lembaga Keuangan Syariah, bahkan DSN MUI.
Lantas apakah hal ini mengindikasikan bahwa setiap Lembaga Keuangan Syariah dan DSN MUI telah melakukan penipuan ? Tidak, bedakan antara kata dan makna. Sebuah nama dengan label syariah bukan berarti memiliki makna yang sesuai dengan apa yang ada didalam syariah. Karena label itu sendiri hanyalah sebuah kata, bukan makna.
Metode anuitas yang dapat disama artikan dengan bunga atau riba, pada akhirnya merupakan sebuah langkah penetapan yang tidak seharusnya dilakukan oleh umat muslim. Karena hal ini hanya akan memperlebar jarak untuk mencapai sebuah kemaslahatan diantara umat manusia.
Sebagai bukti bahwa hal tersebut merupakan sebuah kesalahan, tengoklah pada salah satu ayat suci Al Quran dalam surat Al Baqarah ayat 275 yang berbunyi: “orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.”