Rabu, 12 Februari 2014

Pajak Dalam Ranah Dunia Islam

Demi menjaga sebuah kesejahteraan dan ketentraman dalam suatu negara, mengangkat seorang pemimpin merupakan syarat mutlak yang harus di penuhi bagi setiap rakyat yang tinggal di negara itu. Seorang pemimpin berfungsi untuk mengawasi dan mengatur segala aktivitas yang di lakukan rakyatnya agar kesejahteraan serta ketentraman dalam kehidupan rakyat dapat terwujud. Dan dua hal tersebut dapat di katakan terwujud apabila sudah tidak ada kesenjangan antara si kaya dan si miskin serta setiap kebutuhan yang mereka butuhkan dapat di peroleh dengan mudah. Hanya saja, dengan keterbatasan yang dimiliki oleh seorang manusia, adakalanya seorang pemimpin tidak dapat mengawasi dan mengatur rakyatnya secara langsung terlebih jika negara yang ia pimpin mencangkup wilayah yang luas. Sehingga mereka membuat sebuah peraturan tertulis yang mereka tulis dalam sebuah kitab yang dapat menjadi rujukan bagi setiap hukum yang terjadi dalam negara tersebut. Dewasa ini, kitab itu lebih di kenal dengan sebutan undang-undang.

Undang-undang membahas mengenai hukum-hukum dari setiap aktivitas rakyat dan segala hal yang berkaitan dengan aktivitas mereka, hal ini berfungsi sebagai pengawas tidak langsung bagi rakyat dan akan mendapat hukuman bagi yang melanggar. Untuk membantu berjalannya hukum dalam undang-undang, sang pemimpin mengangkat seseorang yang bertugas sebagai kepala keamanan.

Pajak adalah satu dari sekian banyak hukum yang di terapkan dalam suatu Negara yang berlandaskan pada undang-undang. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH, mendefinisikan pajak sebagai iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat di paksakan) dengan tiada mendapat jasa imbalan secara langsung dan di gunakan untuk membayar keperluan umum. Sedangkan menurut UU No 28 Tahun 2007, pasal 1, pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan di gunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dari dua definisi di atas, dapat di tarik kesimpulan bahwa pajak berfungsi sebagai sumber pendapatan utama Negara yang berasal dari rakyat setempat. Tanpa adanya pajak, sebagian besar kegiatan Negara sulit untuk di laksanakan. Hasil dari pungutan pajak itu sendiri di gunakan untuk membangun segala infrastruktur yang di butuhkan, seperti pembuatan jalan, rumah sakit atau puskesmas, sekolah, jembatan dan kantor polisi. Selain itu di gunakan juga untuk membayar gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dengan penggunannya yang dari rakyat untuk rakyat, serta berdasarkan fakta bahwa setiap rakyat telah menggunakan fasilitas Negara sejak di lahirkan maka tidak salah bagi pemerintah untuk memaksa rakyatnya membayar iuran pajak sebagai kewajiban mereka.

Lantas, apakah setiap golongan rakyat di haruskan untuk membayar iuran pajak ? tidak, hanya beberapa golongan rakyat saja yang di haruskan untuk membayar iuran pajak. Rakyat yang di haruskan membayar iuran pajak hanyalah rakyat yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), umumnya mereka di kenal sebagai wajib pajak. Hal ini juga di dasarkan pada hal yang menjadi objek dari pajak itu sendiri. Yang menjadi objek pajak ialah setiap pertambahan nilai yang di terima dan memiliki nilai ekonomis oleh rakyat. Selain itu, pertambahan nilai tersebut telah mencapai batas minimum pendapatan bagi setiap individu, pribumi maupun warga Negara asing yang menetap di Negara pribumi.

Lalu, bagaimana dengan wajib pajak yang tidak membayar iuran pajak ? sebagaimana yang telah di sebutkan di atas, mereka akan di kenakan hukuman atau sanksi atas yang mereka lakukan. Sanksi yang di berikan dapat berupa bunga setiap bulan (terhitung sejak bulan keterlambatan sampai bulan mereka membayarnya) sebesar 2% di kalikan dengan jumlah iuran pajak yang harus di bayarkan dan denda per Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) massa atau tahunan sejumlah tarif yang telah di tentukan.

Pada dasarnya, penerapan pajak oleh pemerintah terhadap rakyatnya telah di lakukan sejak dahulu kala, tepatnya oleh kalangan kaum muslimin pada masa kekhalifahan Umar bin Khatab. Kala itu, pajak di terapkan kepada setiap non-muslim yang tinggal di wilayah kekuasaan islam akibat peperangan (kharaj). Kemudian juga kepada non-muslim yang tinggal di wilayah islam demi menjaga jiwa mereka (jizyah). Untuk kaum muslim, pajak tidak di lakukan secara kontinu, pajak hanya di terapkan ketika persediaan di baitul maal telah habis atau menipis. Selepas terisi kembali, penerapan pajak di berhentikan. Namun, lebih umumnya pajak pada masa itu di kenal sebagai adh dharibah yang mana memiliki artian beban yang di kenakan kepada rakyat muslim atas harta mereka kepada Negara setelah zakat.

Yusuf Qaradhawi berpendapat, pajak adalah kewajiban yang di tetapkan terhadap wajib pajak yang harus di setorkan kepada Negara sesuai dengan ketentuan tanpa mendapat prestasi kembali dari Negara dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum di satu pihak dan untuk merealisasikan sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin di capai oleh Negara.

          Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait haram atau tidaknya pembayaran pajak. Karena islam sudah menetapkan sebuah ketentuan atas harta setiap individu yang berfungsi sebagai pembersih harta dan penyuci jiwa, apabila telah melaksanakan zakat sesuai ketentuan yang telah di ajarkan oleh islam, gugurlah kewajiban setiap individu atas hartanya.

Ulama yang mengatakan di perbolehkan untuk memungut pajak berlandaskan pada kondisi untuk mematuhi seorang pemimpin dan ketaatan sebagai warga negara. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadist yang menyeru untuk mematuhi seorang pemimpin selama pemimpin itu tidak menyeru kepada kebathilan dan masih mengerjakan shalat.

Adapun kriteria pajak yang masih mereka toleran adalah pajak di kenakan untuk membiayai pengeluaran yang benar-benar di perlukan untuk merealisasikan maqashid syariah, beban pajak tidak boleh kaku karena di hadapkan pada kemampuan rakyat untuk menanggungnya dan di distribusikan secara merata terhadap semua yang mampu membayar,  dan dana pajak yang terkumpul di belanjakan secara jujur.

Sekilas, instrument dalam zakat dan pajak terlihat sama. Padahal ada beberapa perbedaan mendasar yang membedakan keduanya. Persamaan antara zakat dan pajak adalah pertama, bersifat wajib dan mengikat atas harta penduduk suatu negeri dan apabila di lalaikan akan terkena sanksi. Kedua, zakat dan pajak harus di setorkan kepada lembaga resmi agar tercapai efisiensi penarikan dan alokasi penyaluran. Ketiga, dalam kepemerintahan islam zakat dan pajak di atur oleh Negara. Keempat, tidak ada timbal balik keuntungan secara langsung. Kelima, keduanya sama-sama bertujuan untuk menyelesaikan masalah perekonomian dan mengentaskan kemiskinan.

Sedangkan perbedaannya adalah pertama, zakat merupakan manifestasi ketaatan umat muslim kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW, pajak merupakan ketaatan seorang warga Negara kepada ulil amri. Kedua, zakat di tentukan kadarnya di dalam Al Quran dan Al Hadist, pajak di bentuk oleh hukum Negara. Ketiga, zakat hanya di keluarkan oleh kaum muslimin, pajak di keluarkan oleh setiap warga Negara tanpa memandang agama. Keempat, zakat berlaku bagi setiap muslim, pajak hanya berlaku dalam batas garis teritorial suatu Negara. Kelima, zakat adalah ibadah yang wajib di dahului oleh niat, pajak tidak perlu menggunakan niat.

Berikut adalah perbedaan antara zakat dan pajak dalam bentuk tabel.
Perbedaan
Zakat
Pajak
Arti Nama
bersih, bertambah dan berkembang
Utang, pajak, upeti
Dasar Hukum
Al-Qur`an dan As Sunnah
Undang-undang suatu negara
Nishab dan Tarif
Ditentukan Allah SWT dan bersifat mutlak
Ditentukan oleh negara dan yang bersifat relatif Nishab zakat memiliki ukuran tetap sedangkan pajak berubah-ubah sesuai dengan neraca anggaran negara
Sifat
Kewajiban bersifat tetap dan terus menerus
Kewajiban sesuai dengan kebutuhan dan dapat dihapuskan
Subyek
Muslim
Semua warga negara
Obyek Alokasi Penerima
Tetap 8 Golongan
Untuk dana pembangunan dan anggaran rutin
Harta yang Dikenakan
Harta produktif
Semua Harta
Syarat Ijab Kabul
Disyaratkan
Tidak Disyaratkan
Imbalan
Pahala dari Allah SWT dan janji keberkahan harta
Tersedianya barang dan jasa publik
Sanksi
Dari Allah SWT dan pemerintah Islam
Dari Negara
Motivasi Pembayaran
Keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT Ketaatan dan ketakutan pada negara dan sanksinya
Ada pembayaran pajak dimungkinkan adanya manipulasi besarnya jumlah harta wajib pajak dan hal ini tidak terjadi pada zakat
Perhitungan
Dipercayakan kepada Muzaki dan dapat juga dengan bantu ‘amil zakat
Selalu menggunakan jasa akuntan pajak

Dan akhirnya, berdasarkan pada apa yang telah di bahas di atas, dapat di tarik kesimpulan, pajak adalah iuran wajib yang di bayar oleh wajib pajak kepada pemerintah dan akan di kenakan sanksi apabila melalaikannya. Pajak merupakan sumber pendapatan utama suatu Negara dan jika pajak tidak berjalan sebagaimana mestinya, Negara akan mengalami kesulitan untuk melakukan kegiatannya.

Dalam islam, hukum yang mengatur masalah harta setiap individu adalah zakat. Dengan membayar zakat, bersihlah hartanya dan hilanglah kewajibannya atas hartanya. Seandainya ingin menerapkan pajak dan zakat secara bersama-sama, seharusnya apabila seorang muslim sudah membayar zakat ia akan menerima potongan pembayaran pajak.

Senin, 13 Januari 2014

Sistem Murabahah Menerapkan Metode Anuitas, Bolehkah ?

Kata Pengantar

Alhamdulillahirabbil’alamin. Ku ucapkan berjuta rasa terima kasih dan syukurku kepada sang khalik, pencipta setiap makhluk disemesta alam raya ini, yaitu Allah swt. Dengan keagungan Sembilan puluh Sembilan nama-Nya, menjadikan-Nya sang penguasa alam sejati nan hakiki. Tiada yang mustahil bagi-Nya untuk dilakukan karena diri-Nyalah sang penggenggam takdir. Oleh sebab itulah, tiada alasan bagi diri ini untuk meminta pertolongan kepada selain Allah swt. Termasuk dalam pembuatan tulisan ini yang bertajuk “Murabahah Anuitas Perspektif Baru Lembaga Keuangan Syariah”.
Tak lupa ku ucapkan kembali rasa terima kasihku kepada sang kekasih Allah, pemimpin tertinggi umat muslim, penutup para nabi serta penerima mukjizat teragung, Al Quran, yaitu baginda Rasulullah saw. Sepak terjang Rasulullah saw yang begitu dahsyat, melalui bimbingan Allah swt, mampu menghapus jejak kedzaliman dan kejahiliyahan dimuka bumi ini dan menggantinya dengan hangatnya cahaya Allah swt.
Begitu pula dengan seluruh keluarga, guru dan sahabat-sahabatku yang begitu setia memberikan dukungan dalam bentuk doa maupun kata. Tak peduli seberapa besar atau kecilnya dukungan yang kalian berikan, bagiku akan tetap terasa besar dan bermakna.
Tak banyak yang ku harapkan melalui tulisan ini. Tapi satu harapan pasti yang kuinginkan adalah tulisan ini akan memberikan manfaat yang begitu besar kepada setiap pembaca tulisan ini. Meskipun manfaat itu tak dapat dirasakan seketika itu pula, diri ini meyakini bahwa beberapa masa setelah tulisan ini dibaca, manfaat itu akan dirasakan dengan baik dan akan terus bertahan hingga hari akhir yang dijanjikan.
Bogor, 31 Desember 2013

 
Penulis


Abstrak
Penetapan yang dilakukan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) dalam perkara diizinkannya penggunaan metode anuitas untuk mengakui keuntungan yang diperoleh pada salah satu instrument yang paling banyak digunakan oleh nasabah, yakni murabahah baru-baru ini telah mengundang banyak polemik diantara masyarakat Indonesia dan umat muslim khususnya.
Ketika diketahui bahwa metode anuitas tidak berbeda halnya dengan bunga yang dapat disama artikan dengan riba, hal ini menjadi sebuah tanda tanya yang besar bagi Lembaga Keuangan Syariah dan DSN MUI khususnya.

Keyword: Metode Anuitas, Riba, Lembaga Keuangan Syariah



BAB I
Pendahuluan

1.1              Latar Belakang Masalah

Transaksi demi mendapatkan barang atau jasa yang dinginkan sudah lazim dilakukan oleh manusia sejak berabad-abad yang lalu. Termasuk pada zaman Rasulullah saw dan para sahabat. Sebuah transaksi dapat terjadi ketika seseorang membutuhkan suatu barang atau jasa yang tidak ia miliki namun dimiliki oleh orang lain.
Waktu terus bergulir mengikuti perputaran roda kehidupan dan zaman pun silih berganti seiring perputaran tersebut. Akhirnya, sebuah evolusi terhadap model transaksi akibat perubahan zaman pun tak dapat dihindari. Transaksi antara nasabah (pembeli) dan bank (penjual) merupakan salah satunya.
Di Indonesia, model transaksi yang terjadi antara nasabah dengan bank, pada umumnya terbagi menjadi dua sesuai jenis bank itu sendiri, yaitu konvensional dan syariah. Akibatnya, standar pencatatan yang digunakan untuk mencatat setiap transaksi yang terjadi juga terbagi-bagi mengikuti model transaksinya.
Dan dewasa ini, dengan menjamurnya lembaga keuangan syariah, perkembangan popularitas transaksi yang dilakukan oleh nasabah dan bank melalui instrument syariah menunjukan pertumbuhan yang begitu pesat. Hal ini dikarenakan transaksi yang dilakukan melalui instrument syariah dinilai lebih menjanjikan dan menguntungkan. Sehingga, diperlukan sebuah metode pencatatan laporan keuangan yang dapat menggambarkan substansi dari transaksi tersebut. Dalam hal ini, salah satu instrument transaksi syariah yang paling populer adalah Murabahah.
Murabahah adalah suatu instrument transaksi jual beli antara nasabah dengan bank. Yang mana bank berperan sebagai penjual dan nasabah sebagai pembelinya. Ketika seorang nasabah ingin membeli suatu entitas. Nasabah tersebut dapat meminta kepada pihak bank untuk membelikan entitas tersebut. Dan pihak bank harus membeli entitas tersebut sesuai dengan karakteristik yang diminta oleh nasabah. Kemudian, setelah pembelian entitas tersebut. Pihak bank dapat menentukan jumlah uang yang harus dibayarkan kembali oleh pihak nasabah, yaitu harga pokok entitas tersebut ditambah dengan keuntungan yang akan diambil oleh pihak bank sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Dalam hal ini, pihak bank harus menyebutkan harga pokok entitas tersebut kepada nasabah beserta keuntungan yang akan diambil.
Belum lama ini, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) mengeluarkan Fatwa tentang Metode Pengakuan Keuntungan pada sistem murabahah di Lembaga Keuangan Syariah. Fatwa tersebut menerangkan tentang metode anuitas yang diizinkan oleh DSN MUI untuk digunakan oleh Lembaga Keuangan Syariah dalam mengakui keuntungan yang didapat melalui transaksi murabahah.


1.2              Rumusan Penulisan
Berdasarkan latar belakang tersebut. Rumusan masalah dalam tulisan ini dapat dibentuk dalam beberapa pertanyaan seperti:
  • Bagaimana penerapan metode anuitas yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah dalam transaksi murabahah ?
  • Bagaimana pandangan Islam terhadap diterapkannya metode anuitas dalam sistem murabahah ?

1.3              Tujuan Penulisan
Kemudian melalui rumusan masalah yang telah dibentuk sebagaimana yang disebutkan diatas, maka tujuan dari penulisan ini akan tergambarkan sebagaimana berikut ini:
  • Memahami bagaimana metode anuitas itu bekerja ketika diterapkan dalam pengakuan keuntungan pada sistem murabahah
  • Memahami pandangan Islam terkait diterapkannya metode anuitas dalam sistem murabahah


BAB II
Pembahasan

A. Bagaimana Penerapan Metode Anuitas Yang Dilakukan Oleh Lembaga Keuangan Syariah Dalam Transaksi Murabahah

Perbankan syariah saat ini diibaratkan sebagai bunga yang tumbuh ditengah-tengah padang pasir yang tandus. Keberadaannya merupakan harapan dari setiap orang yang tinggal disekitarnya. Keputusasaan, perasaan hampa, kesedihan, kesengsaraan dan segala bentuk perasaan negative seakan sirna dengan kehadiran bunga tersebut. Karena dengan tumbuhnya bunga, bukan tidak mungkin bahwa disekitarnya juga terdapat suatu elemen yang menjadi sumber utama dari segala bentuk kehidupan dimuka bumi, yaitu air.
Tentu saja, sebuah harapan bukan hanya milik golongan manusia tertentu saja. Akan tetapi setiap golongan manusia bebas berkehendak untuk berharap. Kesejahteraan, kemakmuran serta kebahagiaan merupakan contoh kecil dari berbagai jenis harapan yang ingin dicapai oleh setiap manusia.
Dan hal inilah yang dirasakan dunia saat ini. Dunia yang tersadarkan oleh hebatnya krisis keuangan yang melanda pada tahun 1998 dan 2007 mengakui bahwa dunia benar-benar membutuhkan suatu hal yang mampu mereka jadikan sebagai sebuah tumpuan harapan dalam menghadapi krisis keuangan tersebut. Salah satu Lembaga Keuangan Syariah, yakni perbankan syariah pun bergerak maju ke depan untuk menjawab setiap harapan dunia tersebut.
Perbankan syariah yang menjunjung tinggi panji-panji Islam dalam sistemnya, telah benar-benar membuktikan bahwa dirinya pantas untuk menjadi tumpuan harapan bagi dunia. Penerapan sebuah sistem yang ramah terhadap setiap elemen, menjadikan perbankan syariah sebagai idola dunia dalam waktu singkat.
Antusiasme dunia terhadap sistem yang diterapkan oleh perbankan syariah, benar-benar terbukti dengan banyaknya Lembaga Keuangan Syariah baru yang terlahir diberbagai belahan dunia. Bahkan, tak sedikit dari sekian banyak Lembaga Keuangan Konvensional didunia yang melakukan spin off terhadap sistemnya, termasuk di Indonesia.
Menurut data Statistik Perbankan Syariah per Februari 2012 yang dirilis oleh Direktorat Perbankan Syariah BI, penggunaan akad murabahah dalam perbankan syariah adalah yang paling mendominasi. Tercatat sebesar 58,326 triliun rupiah atau 56,24 % dari total 103,713 triliun rupiah pembiayaan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah menggunakan akad murabahah. Bahkan pembiayaan murabahah cenderung terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Belum lama ini, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) mengeluarkan Fatwa tentang Metode Pengakuan Keuntungan pada sistem murabahah di Lembaga Keuangan Syariah. Fatwa tersebut menerangkan tentang metode anuitas yang diizinkan oleh DSN MUI untuk digunakan oleh Lembaga Keuangan Syariah dalam mengakui keuntungan yang didapat melalui transaksi murabahah.
Penerapan metode anuitas dalam mengakui keuntungan yang didapat melalui sistem murabahah telah memunculkan berbagai polemik dimasyarakat Indonesia. Karena anuitas memiliki karakter yang serupa dengan bunga yang diterapkan oleh perbankan konvensional. Dan hal mendasar yang membedakan antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional adalah bunga itu sendiri.
Ketika Lembaga Keuangan Syariah menerapkan metode ini, tentu akan timbul sebuah pertanyaan besar dari masyarakat Indonesia terhadap Lembaga Keuangan Syariah. Bagaimana mungkin Lembaga Keuangan Syariah mengadopsi metode anuitas dalam pengakuan keuntungannya pada sistem murabahah. Karena dengan digunakannya metode anuitas, itu artinya akad murabahah yang awalnya berorientasi pada akad jual beli telah berubah menjadi akad pembiayaan atau pinjam meminjam uang.
Dalam prakteknya, perbankan syariah pada saat melakukan akad murabahah adalah memberikan sejumlah uang kepada nasabah seharga entitas yang ingin dibelinya dan nasabahlah yang  membeli entitas tersebut langsung kepada pihak ketiga atau penjual. Seharusnya hal ini tidak boleh dilakukan oleh perbankan syariah. Karena akan menghapus karakter dari akad murabahah ini. Yakni, entitas tersebut harus merupakan milik dari pihak bank. Dengan kata lain, pihak perbankan syariah seharusnya yang membeli entitas tersebut kepada si penjual dan ketika entitas tersebut sudah dibeli dan menjadi milik bank secara sah, pihak perbankan syariah boleh menjual entitas tersebut kepada nasabah seharga harga pokok entitas tersebut ditambah keuntungan yang ambil sesuai kesepakatan. Sehingga kaidah Islam dalam akad murabahah yang mencangkup: 1. Adanya barang dagangan, 2. Barang merupakan milik sah si penjual, 3. Pihak penjual harus menerangkan harga pokok barang tersebut ditambah keuntungan yang akan diambil, 4. Ijab Kabul atau kesepakatan antara kedua belah pihak, dapat tercapai.
Pengakuan laba dalam akad murabahah yang dihitung dengan menggunakan metode effective interest rate (anuitas) secara akuntansi didasarkan pada fakta bahwa “income is earned throughout the period of loan from the balance of loan principal”. Artinya keuntungan murabahah setiap tahun diperoleh atau dialokasikan berdasarkan perkalian antara saldo terutang dari pokok pinjaman diluar laba dikalikan dengan tingkat bunga efektif yang secara implisit dikenakan atas pokok pinjaman itu. Ini memang sesuai untuk pinjam meminjam uang, tapi tidak sesuai untuk jual beli barang, dimana menurut syariah laba dan pokok pinjaman menyatu sebagai piutang murabahah tangguhan yang tidak terpisahkan.
Mengaitkan alokasi atau pengakuan laba dengan pokok pinjaman dengan menggunakan tingkat bunga efektif akan mengubah substansi transaksi dari murabahah menjadi pinjaman dengan bunga. Dan ini secara substansi adalah riba. Dan riba ini tidak akan lantas menjadi halal dengan mungubah istilah ‘tingkat bunga efektif’ menjadi ‘tingkat imbal hasil efektif’.

B.  Bagaimana pandangan Islam terhadap diterapkannya metode anuitas dalam sistem murabahah

Salah satu tujuan yang menjadi dasar diturunkannya agama Islam dimuka bumi oleh Allah swt adalah demi terciptanya sebuah kemaslahatan dikalangan umat manusia. Dan hal ini termaktub dalam maqoshid syariah.
Kemaslahatan yang dimaksud adalah terciptanya suatu kesejahteraan, kebahagiaan dan kemakmuran disetiap diri pribadi manusia tanpa memperdulikan golongan atau ras manapun.
Seiring berkembangnya zaman, bertumbuh pula berbagai jenis baru perilaku muamalah antar  sesama manusia. Oleh karenanya diperlukanlah sebuah ketentuan hukum yang dapat mengcover itu semua. Dan langkah yang dapat dilakukan oleh umat muslim saat ini, ketika telah wafatnya Rasulullah saw, adalah Ijtihad’ yang dalam hal ini dilakukan oleh anggota DSN MUI.
Pada kasus ini,  penggunaan metode anuitas pada sistem murabahah yang telah merubah sifat asli dari murabahah itu sendiri, sudah menjadi sebuah bukti nyata tentang ketidak beresan yang terjadi didalam diri Lembaga Keuangan Syariah, bahkan DSN MUI.
Lantas apakah hal ini mengindikasikan bahwa setiap Lembaga Keuangan Syariah dan DSN MUI telah melakukan penipuan ? Tidak, bedakan antara kata dan makna. Sebuah nama dengan label syariah bukan berarti memiliki makna yang sesuai dengan apa yang ada didalam syariah. Karena label itu sendiri hanyalah sebuah kata, bukan makna.
Metode anuitas yang dapat disama artikan dengan bunga atau riba, pada akhirnya merupakan sebuah langkah penetapan yang tidak seharusnya dilakukan oleh umat muslim. Karena hal ini hanya akan memperlebar jarak untuk mencapai sebuah kemaslahatan diantara umat manusia.
Sebagai bukti bahwa hal tersebut merupakan sebuah kesalahan, tengoklah pada salah satu ayat suci Al Quran dalam surat Al Baqarah ayat 275 yang berbunyi: “orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.”

Ideal Mahasiswa Ekonomi Terhadap Tri Darma Perguruan Tinggi


            Memasuki sebuah dunia pendidikan tanpa mengetahui visi dan misi dari dunia tersebut hanya akan membuat orang yang memasukinya seperti orang yang sedang bepergian tanpa tujuan. Begitulah yang sedang terjadi saat ini. Begitu banyak mahasiswa dari perguruan tinggi manapun, baik itu negeri ataupun swasta, yang tidak memahami visi dan misi dari perguruan tinggi yang mereka singgahi, bahkan mengetahuinya pun tidak. Sungguh sebuah ironi. Mahasiswa yang katanya adalah agent of change, sebuah pengharapan yang begitu besar dari masyarakat, tidak mengetahui hal ini.
Lalu, sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan visi dan misi sebuah perguruan tinggi ? Pentingkah untuk memahami hal ini ? Lantas bagaimanakah seharusnya sikap mahasiswa dalam menananggapi hal ini, khususnya bagi mahasiswa fakultas ekonomi islam ? Yup, semua akan dibahas melalui tulisan ini.
Sudah seyogianya, bagi setiap mahasiswa, untuk mengetahui visi dan misi sebuah perguruan tinggi atau yang biasa dikenal dengan Tri darma perguruan tinggi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Tri darma terdiri dari dua suku kata yaitu, Tri dan Darma. Tri sendiri diambil dari kata three yang berarti tiga. Sedangkan darma memiliki artian sebagai kewajiban. Sehingga Tridarma memiliki arti sebagai tiga kewajiban.
Pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian terhadap masyarakat. Kewajiban-kewajiban inilah yang sudah seharusnya dipenuhi oleh setiap mahasiswa di perguruan tinggi manapun. Hanya saja, sebagian mahasiswa mungkin akan berpikir “untuk apa aku melakukan itu semua, bukankah tugas utama kita selaku tholabul ‘ilmi adalah belajar ? dan jika kita melakukan itu semua, tentu hanya akan menyita waktu kita untuk belajar”. Tak salah memang jika ada yang berpikiran seperti itu, akan tetapi pola pikir seperti itu hanya akan dilakukan oleh orang yang belum memahami dengan baik hakikat dari tholabul ‘ilmi tersebut. Dalam salah satu hadist Rasulullah saw dikatakan, “sebaik-baik dari kalian adalah orang yang belajar al quran dan mengamalkannya”. Hadist ini dengan jelas menegaskan bahwa kewajiban seseorang bukan hanya untuk belajar dan menjadikan ilmu yang telah ia dapat hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, akan tetapi juga dapat dirasakan manfaatnya untuk orang lain atau masyarakat.
Terlebih sebagai mahasiswa yang bergerak dibidang ekonomi syariah, sudah merupakan hal yang tak dapat dihindari untuk melaksanakan Tri darma perguruan tinggi jika ingin menciptakan kesejahteraan dan kestabilan perekonomian Indonesia. Agama Islam juga sudah mengajarkan kepada manusia untuk terus menjaga kemaslahatan bersama didunia ini sebagai salah satu tanggung jawab sebagai khalifah dimuka bumi.

Alasan lain yang mengharuskan mahasiswa untuk melaksanakan Tridarma perguruan tinggi adalah mahasiswa termasuk ke dalam salah satu faktor Tri darma perguruan tinggi antara lain, Mahasiswa, Dosen, Sarana dan Pra-sarana, serta Tenaga non-edukatif. Kemudian mungkin ada lagi yang setelah mengetahui bahwa kita sebagai mahasiswa ada salah satu faktor dari Tri darma, kita kembali mengatakan apa pentingnya untuk kita ? Karena kita diharapan untuk menjadi mahasiswa yang bisa lebih termotivasi dan sadar bahwa betapa pentingnya peranan kita sebagai mahasiswa untuk mencapai tujuan nasional bangsa indonesia yang ada dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Agar kita bisa lebih mengkhayati makna dari perguruan tinggi, marilah kita meninjau Tri darma tersebut.
A.    Pendidikan dan Pengajaran
Pendidikan dan Pengajaran bisa dijadikan pilar utama Tri darma perguruan tinggi, sebab pendidikan dan pengajaran sangat penting untuk sebuah perguruan tinggi. Dengan adanya pendidikan dan pengajaran yang baik perguruan tinggi bisa menghasilkan bibit penerus bangsa yang kelak akan menjadikan bangsa ini menjadi lebih terarah. Pendidikan dan pengajaran mungkin sudah diterapakan disetiap perguruan tinggi yang ada di Indonesia sebab bukan perguruan tinggi namanya jika tidak ada pendidikan dan pengajaran didalamnya, akan tetapi pendidikan dan pengajaran yang ada pada seluruh perguruan tinggi tidak semuanya berkualitas, tidak semuanya bisa menghasilkan bibit unggul. Apa gunanya ada pendidikan dan pengajaran tetapi lulusan-lulusan yang dihasilkan tidak berkualitas.
B.     Penelitian dan Pengembangan
Penelitian dan Pengembangan juga sangat penting untuk perguruan tinggi, karena dengan adanya penelitian dan pengembangan mahasiswa bisa mengembangkan ilmu pengetahuan dan penerapan bidang ilmu teknologi.  Penelitian dapat dilakukan apabila adanya tenaga-tenaga ahli yang dihasilkan melalui proses pendidikan dan pengajaran, maka dari itu penelitian dan pengembangan memiliki peran yang sangat penting karena tanpa adanya penelitian, pendidikan akan menjadi terhambat. Dalam hal ini penelitian diperguruan tinggi tidak hanya diarahkan untuk penelitian terapan saja, tetapi juga sekaligus melaksanakan penelitian ilmu-ilmu dasar yang manfaatnya bisa lebih terasa untuk masa depan yang akan datang. Berdasarkan kegunaan dan prioritasnya penelitian dapat dibagi menjadi tiga bagian: adanya pendidikan bagi calon peneliti untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan peneliti, peneletian untuk pengembangan ilmu pengetahuan, dan penelitian yang akan langsung menunjang pembangunan.
C.     Pengabdian Terhadap Masyarakat
Pengabdian kepada masyarakat diterapkan dengan cara adanya kontribusi oleh perguruan tinggi terhadap masyarakat. Kontribusi dalam hal ini adalah kontribusi yang bersifat konkrit atau nyata yang bisa dirasakan oleh masyarakat yaitu dengan adanya penerapan ilmu yang dikembangkan melalui penelitian. Aktivias ini harus dilakukan bagi setiap perguruan tinggi yang tidak bersifat mencari keuntungan.

Selanjutnya, sedikit kesimpulan dari apa yang sudah dibahas diatas. Demi tercapainya sebuah keadaan dimana semua elemen masyarakat dapat menikmati kesejahteraan dan kecukupan hidup, maka memahami serta melaksanakan visi dan misi perguruan tinggi yang termasuk didalamnya Tri darma perguruan tinggi oleh mahasiswa merupakan sebuah kewajiban yang tidak dapat ditolak. Karena bukan tidak mungkin ketika mahasiswa tidak mengetahui dan memahami Tri darma perguruan tinggi, yang mana memiliki keterkaitan yang erat satu sama lain, dengan baik. Keadaan perekonomian Indonesia akan mengalami penurunan dan akhirnya akan berimbas pada menurunnya tingkat kesejahteraan hidup masyarakat Indonesia.