Demi menjaga sebuah
kesejahteraan dan ketentraman dalam suatu negara, mengangkat seorang pemimpin
merupakan syarat mutlak yang harus di penuhi bagi setiap rakyat yang tinggal di
negara itu. Seorang pemimpin berfungsi untuk mengawasi dan mengatur segala
aktivitas yang di lakukan rakyatnya agar kesejahteraan serta ketentraman dalam
kehidupan rakyat dapat terwujud. Dan dua hal tersebut dapat di katakan terwujud
apabila sudah tidak ada kesenjangan antara si kaya dan si miskin serta setiap
kebutuhan yang mereka butuhkan dapat di peroleh dengan mudah. Hanya saja,
dengan keterbatasan yang dimiliki oleh seorang manusia, adakalanya seorang
pemimpin tidak dapat mengawasi dan mengatur rakyatnya secara langsung terlebih
jika negara yang ia pimpin mencangkup wilayah yang luas. Sehingga mereka
membuat sebuah peraturan tertulis yang mereka tulis dalam sebuah kitab yang
dapat menjadi rujukan bagi setiap hukum yang terjadi dalam negara tersebut. Dewasa
ini, kitab itu lebih di kenal dengan sebutan undang-undang.
Undang-undang membahas
mengenai hukum-hukum dari setiap aktivitas rakyat dan segala hal yang berkaitan
dengan aktivitas mereka, hal ini berfungsi sebagai pengawas tidak langsung bagi
rakyat dan akan mendapat hukuman bagi yang melanggar. Untuk membantu
berjalannya hukum dalam undang-undang, sang pemimpin mengangkat seseorang yang
bertugas sebagai kepala keamanan.
Pajak adalah satu dari
sekian banyak hukum yang di terapkan dalam suatu Negara yang berlandaskan pada
undang-undang. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH, mendefinisikan pajak sebagai
iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat di
paksakan) dengan tiada mendapat jasa imbalan secara langsung dan di gunakan
untuk membayar keperluan umum. Sedangkan menurut UU No 28 Tahun 2007, pasal 1,
pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan di gunakan untuk keperluan Negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dari dua definisi di
atas, dapat di tarik kesimpulan bahwa pajak berfungsi sebagai sumber pendapatan
utama Negara yang berasal dari rakyat setempat. Tanpa adanya pajak, sebagian
besar kegiatan Negara sulit untuk di laksanakan. Hasil dari pungutan pajak itu
sendiri di gunakan untuk membangun segala infrastruktur yang di butuhkan,
seperti pembuatan jalan, rumah sakit atau puskesmas, sekolah, jembatan dan
kantor polisi. Selain itu di gunakan juga untuk membayar gaji Pegawai Negeri
Sipil (PNS). Dengan penggunannya yang dari rakyat untuk rakyat, serta
berdasarkan fakta bahwa setiap rakyat telah menggunakan fasilitas Negara sejak
di lahirkan maka tidak salah bagi pemerintah untuk memaksa rakyatnya membayar
iuran pajak sebagai kewajiban mereka.
Lantas, apakah setiap
golongan rakyat di haruskan untuk membayar iuran pajak ? tidak, hanya beberapa
golongan rakyat saja yang di haruskan untuk membayar iuran pajak. Rakyat yang
di haruskan membayar iuran pajak hanyalah rakyat yang telah memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP), umumnya mereka di kenal sebagai wajib pajak. Hal ini juga
di dasarkan pada hal yang menjadi objek dari pajak itu sendiri. Yang menjadi
objek pajak ialah setiap pertambahan nilai yang di terima dan memiliki nilai
ekonomis oleh rakyat. Selain itu, pertambahan nilai tersebut telah mencapai
batas minimum pendapatan bagi setiap individu, pribumi maupun warga Negara
asing yang menetap di Negara pribumi.
Lalu, bagaimana dengan wajib
pajak yang tidak membayar iuran pajak ? sebagaimana yang telah di sebutkan di
atas, mereka akan di kenakan hukuman atau sanksi atas yang mereka lakukan.
Sanksi yang di berikan dapat berupa bunga setiap bulan (terhitung sejak bulan
keterlambatan sampai bulan mereka membayarnya) sebesar 2% di kalikan dengan
jumlah iuran pajak yang harus di bayarkan dan denda per Surat Pemberitahuan
Pajak (SPT) massa atau tahunan sejumlah tarif yang telah di tentukan.
Pada dasarnya, penerapan
pajak oleh pemerintah terhadap rakyatnya telah di lakukan sejak dahulu kala,
tepatnya oleh kalangan kaum muslimin pada masa kekhalifahan Umar bin Khatab.
Kala itu, pajak di terapkan kepada setiap non-muslim yang tinggal di wilayah
kekuasaan islam akibat peperangan (kharaj). Kemudian juga kepada non-muslim
yang tinggal di wilayah islam demi menjaga jiwa mereka (jizyah). Untuk kaum
muslim, pajak tidak di lakukan secara kontinu, pajak hanya di terapkan ketika
persediaan di baitul maal telah habis atau menipis. Selepas terisi kembali,
penerapan pajak di berhentikan. Namun, lebih umumnya pajak pada masa itu di
kenal sebagai adh dharibah yang mana memiliki artian beban yang di kenakan
kepada rakyat muslim atas harta mereka kepada Negara setelah zakat.
Yusuf Qaradhawi
berpendapat, pajak adalah kewajiban yang di tetapkan terhadap wajib pajak yang
harus di setorkan kepada Negara sesuai dengan ketentuan tanpa mendapat prestasi
kembali dari Negara dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
di satu pihak dan untuk merealisasikan sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik
dan tujuan-tujuan lain yang ingin di capai oleh Negara.
Terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait haram atau tidaknya pembayaran
pajak. Karena islam sudah menetapkan sebuah ketentuan atas harta setiap
individu yang berfungsi sebagai pembersih harta dan penyuci jiwa, apabila telah
melaksanakan zakat sesuai ketentuan yang telah di ajarkan oleh islam, gugurlah
kewajiban setiap individu atas hartanya.
Ulama yang mengatakan di perbolehkan
untuk memungut pajak berlandaskan pada kondisi untuk mematuhi seorang pemimpin
dan ketaatan sebagai warga negara. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadist
yang menyeru untuk mematuhi seorang pemimpin selama pemimpin itu tidak menyeru
kepada kebathilan dan masih mengerjakan shalat.
Adapun kriteria pajak
yang masih mereka toleran adalah pajak di kenakan untuk membiayai pengeluaran
yang benar-benar di perlukan untuk merealisasikan maqashid syariah, beban pajak
tidak boleh kaku karena di hadapkan pada kemampuan rakyat untuk menanggungnya
dan di distribusikan secara merata terhadap semua yang mampu membayar, dan dana pajak yang terkumpul di belanjakan
secara jujur.
Sekilas, instrument dalam
zakat dan pajak terlihat sama. Padahal ada beberapa perbedaan mendasar yang
membedakan keduanya. Persamaan antara zakat dan pajak adalah pertama, bersifat
wajib dan mengikat atas harta penduduk suatu negeri dan apabila di lalaikan
akan terkena sanksi. Kedua, zakat dan pajak harus di setorkan kepada lembaga resmi
agar tercapai efisiensi penarikan dan alokasi penyaluran. Ketiga, dalam
kepemerintahan islam zakat dan pajak di atur oleh Negara. Keempat, tidak ada
timbal balik keuntungan secara langsung. Kelima, keduanya sama-sama bertujuan
untuk menyelesaikan masalah perekonomian dan mengentaskan kemiskinan.
Sedangkan perbedaannya
adalah pertama, zakat merupakan manifestasi ketaatan umat muslim kepada Allah
SWT dan Rasulullah SAW, pajak merupakan ketaatan seorang warga Negara kepada
ulil amri. Kedua, zakat di tentukan kadarnya di dalam Al Quran dan Al Hadist,
pajak di bentuk oleh hukum Negara. Ketiga, zakat hanya di keluarkan oleh kaum
muslimin, pajak di keluarkan oleh setiap warga Negara tanpa memandang agama.
Keempat, zakat berlaku bagi setiap muslim, pajak hanya berlaku dalam batas
garis teritorial suatu Negara. Kelima, zakat adalah ibadah yang wajib di
dahului oleh niat, pajak tidak perlu menggunakan niat.
Berikut adalah perbedaan
antara zakat dan pajak dalam bentuk tabel.
Perbedaan
|
Zakat
|
Pajak
|
Arti Nama
|
bersih, bertambah
dan berkembang
|
Utang, pajak, upeti
|
Dasar Hukum
|
Al-Qur`an dan As
Sunnah
|
Undang-undang suatu
negara
|
Nishab dan Tarif
|
Ditentukan Allah SWT
dan bersifat mutlak
|
Ditentukan oleh
negara dan yang bersifat relatif Nishab zakat memiliki ukuran tetap sedangkan
pajak berubah-ubah sesuai dengan neraca anggaran negara
|
Sifat
|
Kewajiban bersifat
tetap dan terus menerus
|
Kewajiban sesuai
dengan kebutuhan dan dapat dihapuskan
|
Subyek
|
Muslim
|
Semua warga negara
|
Obyek Alokasi
Penerima
|
Tetap 8 Golongan
|
Untuk dana
pembangunan dan anggaran rutin
|
Harta yang Dikenakan
|
Harta produktif
|
Semua Harta
|
Syarat Ijab Kabul
|
Disyaratkan
|
Tidak Disyaratkan
|
Imbalan
|
Pahala dari Allah
SWT dan janji keberkahan harta
|
Tersedianya barang
dan jasa publik
|
Sanksi
|
Dari Allah SWT dan
pemerintah Islam
|
Dari Negara
|
Motivasi Pembayaran
|
Keimanan dan
ketakwaan kepada Allah SWT Ketaatan dan ketakutan pada negara dan sanksinya
|
Ada pembayaran pajak
dimungkinkan adanya manipulasi besarnya jumlah harta wajib pajak dan hal ini
tidak terjadi pada zakat
|
Perhitungan
|
Dipercayakan kepada
Muzaki dan dapat juga dengan bantu ‘amil zakat
|
Selalu menggunakan
jasa akuntan pajak
|
Dan akhirnya, berdasarkan
pada apa yang telah di bahas di atas, dapat di tarik kesimpulan, pajak adalah
iuran wajib yang di bayar oleh wajib pajak kepada pemerintah dan akan di
kenakan sanksi apabila melalaikannya. Pajak merupakan sumber pendapatan utama
suatu Negara dan jika pajak tidak berjalan sebagaimana mestinya, Negara akan
mengalami kesulitan untuk melakukan kegiatannya.
Dalam islam, hukum yang
mengatur masalah harta setiap individu adalah zakat. Dengan membayar zakat,
bersihlah hartanya dan hilanglah kewajibannya atas hartanya. Seandainya ingin
menerapkan pajak dan zakat secara bersama-sama, seharusnya apabila seorang
muslim sudah membayar zakat ia akan menerima potongan pembayaran pajak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar