Rabu, 12 Februari 2014

Pajak Dalam Ranah Dunia Islam

Demi menjaga sebuah kesejahteraan dan ketentraman dalam suatu negara, mengangkat seorang pemimpin merupakan syarat mutlak yang harus di penuhi bagi setiap rakyat yang tinggal di negara itu. Seorang pemimpin berfungsi untuk mengawasi dan mengatur segala aktivitas yang di lakukan rakyatnya agar kesejahteraan serta ketentraman dalam kehidupan rakyat dapat terwujud. Dan dua hal tersebut dapat di katakan terwujud apabila sudah tidak ada kesenjangan antara si kaya dan si miskin serta setiap kebutuhan yang mereka butuhkan dapat di peroleh dengan mudah. Hanya saja, dengan keterbatasan yang dimiliki oleh seorang manusia, adakalanya seorang pemimpin tidak dapat mengawasi dan mengatur rakyatnya secara langsung terlebih jika negara yang ia pimpin mencangkup wilayah yang luas. Sehingga mereka membuat sebuah peraturan tertulis yang mereka tulis dalam sebuah kitab yang dapat menjadi rujukan bagi setiap hukum yang terjadi dalam negara tersebut. Dewasa ini, kitab itu lebih di kenal dengan sebutan undang-undang.

Undang-undang membahas mengenai hukum-hukum dari setiap aktivitas rakyat dan segala hal yang berkaitan dengan aktivitas mereka, hal ini berfungsi sebagai pengawas tidak langsung bagi rakyat dan akan mendapat hukuman bagi yang melanggar. Untuk membantu berjalannya hukum dalam undang-undang, sang pemimpin mengangkat seseorang yang bertugas sebagai kepala keamanan.

Pajak adalah satu dari sekian banyak hukum yang di terapkan dalam suatu Negara yang berlandaskan pada undang-undang. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH, mendefinisikan pajak sebagai iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat di paksakan) dengan tiada mendapat jasa imbalan secara langsung dan di gunakan untuk membayar keperluan umum. Sedangkan menurut UU No 28 Tahun 2007, pasal 1, pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan di gunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dari dua definisi di atas, dapat di tarik kesimpulan bahwa pajak berfungsi sebagai sumber pendapatan utama Negara yang berasal dari rakyat setempat. Tanpa adanya pajak, sebagian besar kegiatan Negara sulit untuk di laksanakan. Hasil dari pungutan pajak itu sendiri di gunakan untuk membangun segala infrastruktur yang di butuhkan, seperti pembuatan jalan, rumah sakit atau puskesmas, sekolah, jembatan dan kantor polisi. Selain itu di gunakan juga untuk membayar gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dengan penggunannya yang dari rakyat untuk rakyat, serta berdasarkan fakta bahwa setiap rakyat telah menggunakan fasilitas Negara sejak di lahirkan maka tidak salah bagi pemerintah untuk memaksa rakyatnya membayar iuran pajak sebagai kewajiban mereka.

Lantas, apakah setiap golongan rakyat di haruskan untuk membayar iuran pajak ? tidak, hanya beberapa golongan rakyat saja yang di haruskan untuk membayar iuran pajak. Rakyat yang di haruskan membayar iuran pajak hanyalah rakyat yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), umumnya mereka di kenal sebagai wajib pajak. Hal ini juga di dasarkan pada hal yang menjadi objek dari pajak itu sendiri. Yang menjadi objek pajak ialah setiap pertambahan nilai yang di terima dan memiliki nilai ekonomis oleh rakyat. Selain itu, pertambahan nilai tersebut telah mencapai batas minimum pendapatan bagi setiap individu, pribumi maupun warga Negara asing yang menetap di Negara pribumi.

Lalu, bagaimana dengan wajib pajak yang tidak membayar iuran pajak ? sebagaimana yang telah di sebutkan di atas, mereka akan di kenakan hukuman atau sanksi atas yang mereka lakukan. Sanksi yang di berikan dapat berupa bunga setiap bulan (terhitung sejak bulan keterlambatan sampai bulan mereka membayarnya) sebesar 2% di kalikan dengan jumlah iuran pajak yang harus di bayarkan dan denda per Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) massa atau tahunan sejumlah tarif yang telah di tentukan.

Pada dasarnya, penerapan pajak oleh pemerintah terhadap rakyatnya telah di lakukan sejak dahulu kala, tepatnya oleh kalangan kaum muslimin pada masa kekhalifahan Umar bin Khatab. Kala itu, pajak di terapkan kepada setiap non-muslim yang tinggal di wilayah kekuasaan islam akibat peperangan (kharaj). Kemudian juga kepada non-muslim yang tinggal di wilayah islam demi menjaga jiwa mereka (jizyah). Untuk kaum muslim, pajak tidak di lakukan secara kontinu, pajak hanya di terapkan ketika persediaan di baitul maal telah habis atau menipis. Selepas terisi kembali, penerapan pajak di berhentikan. Namun, lebih umumnya pajak pada masa itu di kenal sebagai adh dharibah yang mana memiliki artian beban yang di kenakan kepada rakyat muslim atas harta mereka kepada Negara setelah zakat.

Yusuf Qaradhawi berpendapat, pajak adalah kewajiban yang di tetapkan terhadap wajib pajak yang harus di setorkan kepada Negara sesuai dengan ketentuan tanpa mendapat prestasi kembali dari Negara dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum di satu pihak dan untuk merealisasikan sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin di capai oleh Negara.

          Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait haram atau tidaknya pembayaran pajak. Karena islam sudah menetapkan sebuah ketentuan atas harta setiap individu yang berfungsi sebagai pembersih harta dan penyuci jiwa, apabila telah melaksanakan zakat sesuai ketentuan yang telah di ajarkan oleh islam, gugurlah kewajiban setiap individu atas hartanya.

Ulama yang mengatakan di perbolehkan untuk memungut pajak berlandaskan pada kondisi untuk mematuhi seorang pemimpin dan ketaatan sebagai warga negara. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadist yang menyeru untuk mematuhi seorang pemimpin selama pemimpin itu tidak menyeru kepada kebathilan dan masih mengerjakan shalat.

Adapun kriteria pajak yang masih mereka toleran adalah pajak di kenakan untuk membiayai pengeluaran yang benar-benar di perlukan untuk merealisasikan maqashid syariah, beban pajak tidak boleh kaku karena di hadapkan pada kemampuan rakyat untuk menanggungnya dan di distribusikan secara merata terhadap semua yang mampu membayar,  dan dana pajak yang terkumpul di belanjakan secara jujur.

Sekilas, instrument dalam zakat dan pajak terlihat sama. Padahal ada beberapa perbedaan mendasar yang membedakan keduanya. Persamaan antara zakat dan pajak adalah pertama, bersifat wajib dan mengikat atas harta penduduk suatu negeri dan apabila di lalaikan akan terkena sanksi. Kedua, zakat dan pajak harus di setorkan kepada lembaga resmi agar tercapai efisiensi penarikan dan alokasi penyaluran. Ketiga, dalam kepemerintahan islam zakat dan pajak di atur oleh Negara. Keempat, tidak ada timbal balik keuntungan secara langsung. Kelima, keduanya sama-sama bertujuan untuk menyelesaikan masalah perekonomian dan mengentaskan kemiskinan.

Sedangkan perbedaannya adalah pertama, zakat merupakan manifestasi ketaatan umat muslim kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW, pajak merupakan ketaatan seorang warga Negara kepada ulil amri. Kedua, zakat di tentukan kadarnya di dalam Al Quran dan Al Hadist, pajak di bentuk oleh hukum Negara. Ketiga, zakat hanya di keluarkan oleh kaum muslimin, pajak di keluarkan oleh setiap warga Negara tanpa memandang agama. Keempat, zakat berlaku bagi setiap muslim, pajak hanya berlaku dalam batas garis teritorial suatu Negara. Kelima, zakat adalah ibadah yang wajib di dahului oleh niat, pajak tidak perlu menggunakan niat.

Berikut adalah perbedaan antara zakat dan pajak dalam bentuk tabel.
Perbedaan
Zakat
Pajak
Arti Nama
bersih, bertambah dan berkembang
Utang, pajak, upeti
Dasar Hukum
Al-Qur`an dan As Sunnah
Undang-undang suatu negara
Nishab dan Tarif
Ditentukan Allah SWT dan bersifat mutlak
Ditentukan oleh negara dan yang bersifat relatif Nishab zakat memiliki ukuran tetap sedangkan pajak berubah-ubah sesuai dengan neraca anggaran negara
Sifat
Kewajiban bersifat tetap dan terus menerus
Kewajiban sesuai dengan kebutuhan dan dapat dihapuskan
Subyek
Muslim
Semua warga negara
Obyek Alokasi Penerima
Tetap 8 Golongan
Untuk dana pembangunan dan anggaran rutin
Harta yang Dikenakan
Harta produktif
Semua Harta
Syarat Ijab Kabul
Disyaratkan
Tidak Disyaratkan
Imbalan
Pahala dari Allah SWT dan janji keberkahan harta
Tersedianya barang dan jasa publik
Sanksi
Dari Allah SWT dan pemerintah Islam
Dari Negara
Motivasi Pembayaran
Keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT Ketaatan dan ketakutan pada negara dan sanksinya
Ada pembayaran pajak dimungkinkan adanya manipulasi besarnya jumlah harta wajib pajak dan hal ini tidak terjadi pada zakat
Perhitungan
Dipercayakan kepada Muzaki dan dapat juga dengan bantu ‘amil zakat
Selalu menggunakan jasa akuntan pajak

Dan akhirnya, berdasarkan pada apa yang telah di bahas di atas, dapat di tarik kesimpulan, pajak adalah iuran wajib yang di bayar oleh wajib pajak kepada pemerintah dan akan di kenakan sanksi apabila melalaikannya. Pajak merupakan sumber pendapatan utama suatu Negara dan jika pajak tidak berjalan sebagaimana mestinya, Negara akan mengalami kesulitan untuk melakukan kegiatannya.

Dalam islam, hukum yang mengatur masalah harta setiap individu adalah zakat. Dengan membayar zakat, bersihlah hartanya dan hilanglah kewajibannya atas hartanya. Seandainya ingin menerapkan pajak dan zakat secara bersama-sama, seharusnya apabila seorang muslim sudah membayar zakat ia akan menerima potongan pembayaran pajak.